Selasa, 25 Juni 2013

Cermin Peradaban



 

Setelah mengetahui dirinya mengandung, sang ibu akan sering bernyanyi dan bermain piano. Si Ibu dan Bapak akan membeli buku matematika dan menyelesaikannya bersama tanpa merasa jenuh. Sang Ibu pun sangat peduli dengan asupan makanan. Sejak awal mengandung dia suka sekali makan kacang badan dan korma bersama susu. Tengah hari makanan utamanya roti dan ikan tanpa kepala bersama salad yang dicampur dengan badam dan berbagai jenis kacang. Menu makan malam utama adalah ikan. Ikan dan daging tidak bersama dalam satu meja. Salad dan kacang adalah kemestian. Uniknya, yang dihidangkan diawal adalah buah-buahan. Adakah hal lain? Merokok adalah tabu. Cod Oil Lever suplemen anak setelah makan...

Di bumi yang sama, Ramadhan lalu, 3500 anak dilantik sebagai hafidz. Ibu seperti apa yang membesarkan mereka.

Adaptasi tulisan Dr.Stepen Carr Leon
Sabili No.16 Th.XV

Salim A. Fillah-Baarakallaahu Laka... Bahagianya Merayakan Cinta


Suatu hari mungkin kita menyaksikan seorang lelaki, ikut antri di warung pecel lele di daerah Monjali (Monumen Jogja Kembali). Mendung bergantung sore itu, dan warna hitam yang menyeruak di barat mulai bergerak mendekat. Dia, berkaos putih yang lehernya mulai geripis, di kepalanya ada peci putih kecil, dan celananya beberapa senti diatas mata kaki. Sandal jepit swallow yang talinya hampir putus nyangkut diantara jempol dan jari kakinya. Seperti yang lain ia juga memesan, "Pecel Lele, Mas!"

"Berapa?" tanya Mas penjual yang asyik menguleg sambal terasi sambil sesekali meraih sothil besar untuk membalik gorengan lele di wajan raksasa. Gemuruh bunyi kompor mengharuskan orang bicara sedikit lebih keras.

"Satu. Dibungkus.." Perlahan tangannya merogoh saku celana, lalu duduk sembari menghitung uangnya. Malu-malu tangannya dijorokkan sedikit ke bawah meja. Uang pecahan ratusan yang sudah disatukan dengan selotip bening per sepuluh keping, pas jumlahnya sesuai harga.

"Nggak makan sini aja Mas? Takut keburu hujan ya?"

"Hi hi, buat istri.."

"Oo.."

Selesai pesanannya dibungkus, bersamaan dengan bunyi keritik yang mulai menggambar titik-titik basah di tenda terpal milik Mas Pecel Lele. Agak berlari ia keluar, tetapi melebatnya sang hujan jauh lebih cepat dari tapak-tapak kecil nya. Kahawatir pecel lele untuk istri tercinta yang hanya dibungkus kertas akan berkuah, ia selipkan masuk ke perutnya. Bungkusan itu ia rengkuh erat dengan tangan kanan, tersembunyi dibalik kaos putih yang mulai transparan disapu air. Tangan kirinya keatas, mencoba melindungi kepalanya dari terpaan ganas hujan yang tercurah memukul-mukul. Saat itu ia sadar, ia ambil pecinya. Ia pakai juga untuk melapisi bungkusan pecel lele. Huff, lumayan aman sekarang. Tetapi 3 kilometer bukanlah jarak yang dekat untuk berjalan ditengah hujan, bukan?

Apa perasaan Anda melihat lelaki ini? Kasihan. Iba. Miris. Sedih.

Itu kan Anda! Coba tanyakan pada lelaki itu, kalau Anda bertemu. Oh, sungguh berbeda. Betapa berbunga hatinya. Dadanya dipenuhi heroisme sebagai suami baru yang penuh perjuangan untuk membelikan penyambung hayat istri tercinta. Jiwanya dipenuhi getaran kebanggaan, keharuan, dan kegembiraan. Kebahagiaan seolah tak terbatas, menyelam begitu dalam di kebeningan matanya. Ia membayangkan senyum yang menantinya, bagai bayangan surga yang terus terhidupkan di rumah petak kontrakannya. Di tengah cipratan air dari mobil dan bus kota yang bersicepat, juga sandalnya yang putus lalu hilang ditelan lumpur becek, ia akan tersenyum. Senyum termanis yang disaksikan jagad. Seingatnya, ia belum pernah tersenyum semanis itu saat masih membujang. Subhaanallah..*

* kisah nyata yang dialami Ustadz Mohammad Fauzil Adhim
Halaman 26-27