Selasa, 28 Agustus 2012

My Eaglet Class

Kelas B (Ultah nya Aqilla)
 Pengalaman pertama mengajar kelas yang berisi anak-anak usia 1-3 tahun. It’s a miracle. Murid-murid ku Aro, Luna, Zahra, Odi, Quin, Aqilla, Aziz, Ayyira, Zaki, Opick, dan si pendatang baru vieri mengubah suasana dalam bekerja. Bukan dengan jadwal yang padat, pertemuan dengan mereka hanya 2 termin, Selasa-Jum’at dan Rabu-Sabtu di tiap jam 09.00-11.00 namun cukup membuat suasana kerja menjadi lebih semangat dan ceria.

Seorang yang bernama Diona Ericha Octavia yang mengaku lahir tahun ’86 (tertera di KTP) padahal di akta ’84 #garuk-garuk kepala, sosok inspiratif pencetus ide didirikannya Eaglet Class maka kami (para pengajar.red) menjulukinya ibu kepala sekolah yang sampai saat ini masih berkutat dengan kurikulum dan pengembangan Eaglet Class ke depan. Tak sembarangan pula orang yang memberikan nama Eaglet Class yaitu Nina Ginasari, konsultan Yayasan Fatimah Az Zahra Lampung dengan ide cemerlang nya mengambil filosofi daur hidup si burung elang (eaglet-branchers-fledling-...agak lupa). Baru seumur jagung, wajar sistem prematur ini masih perlu di benahi sana-sini nya. Namun, aku yakin sekali Eaglet Class akan besar dan terbang tinggi. Aamiin.

Takkan mulus perjalanan Eaglet Class tanpa adanya usaha gigih dari Widhiyanti Rahayu Ningsih. Saat aku hadir, kelas hampir telah siap dibereskan oleh tangannya sendiri. Beliau ini memang yang paling istiqomah deh untuk urusan kantor. Datangnya pagiii banget (jadi malu..). Sifatnya yang sensitif pun membuat ia cepat dekat dengan anak-anak, plus pribadi jowo-nya membuat semakin perfect kebaikan hati dan perilakunya. Empat jempol untuk widhi.

Jam terbang yang tinggi di organisasi kampus, pengerjaan penelitian ilmiah di beberapa lab ternama, dan pengalaman mengajar kelas-kelas tinggi tidak begitu banyak membantu ku dalam menangani anak-anak Eaglet Class. Istilah yang dibuat oleh Bu Kepala Sekolah diawal pertemuan kami dengan anak-anak adalah “Bicara dengan Tembok” yups, minggu pertama seperti bicara dengan tembok, tak ada perhatian, tatap mata ke arah guru seolah mengerti, pertanyaan terkait yang diajarkan, maupun ucapan izin ingin ke belakang atau sekedar beli makanan di kantin depan. Nyaris seperti bicara dengan orang yang menggunakan headset+mp3 bervolume maximum. Alhasil, tenggorokan sakit, keringat sebesar-besar biji jagung adalah efek samping setelah mengajar Eaglet Class.

Adaptasi, itulah kunci dari kedekatan kami dengan anak-anak. Rupanya, mereka butuh waktu, jelas sekali anak-anak tersebut belum paham makna “pentingnya sekolah”, jadi sedih bila ada orang tua yang menanamkan nilai-nilai target yang tinggi terhadap anak-anak usia tersebut bahkan sebelum mereka mampu menghitung 1-10 dengan baik. Alhamdulillah, ada banyak kemajuan di minggu-minggu selanjutnya, meskipun tiap anak memiliki tingkat adaptasi yang berbeda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar