Kamis, 13 Maret 2014

KOH SEBAGAI KATALIS PADA PEMBUATAN BIODIESEL



Reaksi transesterifikasi dilakukan menggunakan katalis basa kuat, yaitu KOH. Encinar et al. (1999) melaporkan bahwa dibandingkan dengan NaOH, kinerja KOH sebagai katalis lebih unggul dimana produk metil ester yang dihasilkan lebih banyak serta pemisahan produk metil ester dari gliserol lebih mudah.
Tomasevic dan Marinkovic (2003) melakukan serangkaian percobaan dan menyimpulkan bahwa biodiesel dengan kualitas baik bisa diperoleh menggunakan minyak goreng bekas dengan bantuan katalis KOH 1%. Rodjanakid dan Charoenphonphanich (2004) mentransesterifikasikan minyak sawit menggunakan KOH dan metanol pada suhu 60oC selama 1 jam. Reaksi serupa juga dilakukan dengan mengganti metanol dengan etanol. Hasilnya menunjukkan bahwa jumlah produk metil ester lebih tinggi dan karakteristiknya lebih baik dibandingkan etil ester. Kombinasi antara katalis KOH dengan pelarut metanol dalam reaksi transesterifikasi diharapkan dapat menghasilkan produk biodiesel yang maksimal.

ZIRKONIA TERSULFATASI SEBAGAI KATALIS ASAM PADAT PADA PEMBUATAN BIODIESEL



Beberapa penelitian terkait penggunaan zirkonium oksida (ZrO2) sebagai katalis asam padat untuk esterifikasi bahan baku yang berbeda dikarenakan keasaman permukaan yang kuat. Sifat keasaman dapat ditingkatkan dengan melapisi permukaan oksida logam ini dengan anion seperti sulfat atau tungstat. Hal ini dapat dilakukan dengan impregnasi ZrOCl2.8H2O dengan larutan asam seperti asam sulfat (H2SO4) menjadi zirkonia tersulfatasi, SO4/ZrO2 (Miao and Gao, 1997). Selain itu, Nourredine (2010) menunjukkan bahwa suhu kalsinasi mempengaruhi aktivitas katalitik, dimana pada suhu antara 400-500oC akan diperoleh aktivitas yang baik. Suhu kalsinasi mempengaruhi kristalinitas SO4/ZrO2.
Patel et al. (2013) berhasil mengkonversi asam oleat menjadi metil oleat dengan persen produk sebesar 90% melalui reaksi esterifikasi dengan bantuan katalis SO4/ZrO2 sedangkan dengan bantuan katalis ZrO2 persen hasil yang diperoleh hanya 32%. hal ini menunjukkan bahwa modifikasi dari keasaman permukaan oksida logam adalah faktor kunci untuk memperoleh jumlah produk yang tinggi. Wang et al. (2001) menunjukkan bahwa kinerja katalisis zirkonia yang baik disebabkan oleh dua faktor pada strukturnya. Faktor yang pertama, satu tangan zirkonia memiliki sifat asam-basa dan tangan lainnya memiliki sifat reduksi-oksidasi. Faktor yang kedua, adanya situs kosong pada permukaan ZrO2 dimana kation dapat dengan mudah dimasukkan kedalamnya

KATALIS ASAM HETEROGEN PADA PEMBUATAN BIODIESEL



Proses produksi biodiesel dengan katalis heterogen merupakan teknologi yang ramah lingkungan (green technology) karena katalis tersebut dapat didaur ulang (recycle), limbah yang dihasilkan sedikit, pemisahan biodiesel dari gliserolnya jauh lebih mudah, dan mengurangi masalah korosi (Suarez et al., 2007).
Baru-baru ini, beberapa peneliti menilai kelayakan ekonomi produksi biodiesel dari limbah minyak nabati. Zhang et al. (2003) mempelajari biaya produksi biodiesel yang dibuat dari limbah minyak nabati. Mereka melaporkan bahwa dengan penggunaan katalis asam heterogen biaya produksi menjadi lebih ekonomis. Penggunaan katalis heterogen akan mengurangi pengolahan hilir.
Crude Palm Oil (CPO) parit dan minyak non-edible lainnya yang memiliki kandungan asam lemak yang tinggi akan menyebabkan pembentukan sabun dan menurunkan yield biodiesel serta masalah sulitnya pemisahan katalis tersebut dengan produk jika menggunakan katalis homogen (Van Gerpen, 2005). Penggunaan enzim untuk mengkatalisis produksi biodiesel juga telah menarik banyak peneliti beberapa tahun belakangan ini karena enzim dapat mentolerir kandungan asam lemak bebas dan air serta kemudahan dalam pemurnian biodiesel dan gliserol, tetapi transesterifikasi enzimatik masih belum dapat dikomersialkan untuk produksi biodiesel dikarenakan waktu tinggal yang lama dan biaya produksi yang tinggi (Dizge et al., 2009). Katalis heterogen akan mengkonversi trigliserida menjadi biodiesel secara perlahan-lahan, tetapi merupakan cara yang ekonomis karena katalisnya dapat didaur ulang untuk kedua proses, baik batch atau kontinu (West et al., 2008).
Katalis asam padat yang ideal untuk reaksi esterifikasi minyak nabati harus memiliki karakteristik seperti sistem interkoneksi dengan pori yang besar, konsentrasi situs asam kuat yang moderat hingga tinggi dan permukaan hidrofobik (Kulkarni dan Dalai, 2006). Beberapa katalis asam padat yang terus dikembangkan antara lain zeolit (Lotero et al., 2005), resin penukar ion sulfonat (Ozbay et al., 2008), silika mesostructure modifikasi sulfonat (Mbraka and Shanks, 2006), katalis berbasis karbon tersulfonasi (Hara, 2009), heteropolyacids (HPA) (Narasimharao et al., 2007), titanium oksida (TiO2) (Chen et al., 2007),  dan zirkonium oksida (ZrO2) (Miao and Gao, 1997).

REAKSI TRANSESTERIFIKASI PADA PEMBUATAN BIODIESEL


Transesterifikasi adalah proses transformasi kimia molekul trigliserida yang besar, bercabang dari minyak nabati dan lemak menjadi molekul yang lebih kecil, molekul rantai lurus, dan hampir sama dengan molekul dalam bahan bakar diesel. Minyak nabati atau lemak hewani bereaksi dengan alkohol (biasanya metanol) dengan bantuan katalis (biasanya basa) yang menghasilkan alkil ester (atau untuk metanol, metil ester) (Knothe et al., 2005). 

Tidak seperti esterifikasi yang mengkonversi asam lemak bebas  menjadi ester, pada transesterifikasi yang terjadi adalah mengubah trigliserida menjadi ester. Perbedaan antara transesterifikasi dan esterifikasi menjadi sangat penting ketika memilih bahan baku dan katalis. Transesterifikasi dikatalisis oleh asam atau basa, sedangkan esterifikasi, bagaimanapun hanya dikatalisis oleh asam (Nourredine, 2010). Pada transesterifikasi, reaksi saponifikasi yang tidak diinginkan bisa terjadi jika bahan baku mengandung asam lemak bebas yang mengakibatkan terbentuknya sabun. Lotero et al. (2005) merekomendasikan bahan baku yang mengandung kurang dari 0,5% berat asam lemak saat menggunakan katalis basa untuk menghindari pembentukan sabun. 
 
Transesterifikasi trigliserida dengan katalis basa homogen merupakan aspek kimia biodiesel yang paling penting. Spesies reaktif dalam transesterifikasi menggunakan katalis basa homogen alkoksida yang terbentuk ketika alkohol dan katalis bereaksi. Alkoksida yang sangat reaktif kemudian terlibat dalam serangan nukleofilik pada gugus karbonil dari asam lemak sehingga memungkinkan serangan nukleofilik oleh alkohol melalui oksigen yang bersifat elektronegatif.

Alkohol yang paling umum digunakan adalah metanol dan etanol, terutama metanol, karena harganya murah dan reaktifitasnya paling tinggi (sehingga reaksinya disebut metanolisis). Produk yang dihasilkan (jika menggunakan metanol) lebih sering disebut sebagai metil ester asam lemak (fatty acid methyl ester/FAME) daripada biodiesel (Knothe et al., 2005), sedangkan jika etanol yang digunakan sebagai reaktan, maka akan diperoleh campuran etil ester asam lemak (fatty acid ethyl ester/FAEE) (Lam et al., 2010). Dengan minyak berbasis bio (minyak nabati) maka hubungan stoikiometrinya memerlukan 3 mol alkohol per mol TAG (3:1), tetapi reaksi biasanya membutuhkan alkohol berlebih berkisar 6:1 hingga 20:1, tergantung pada reaksi kimia untuk transesterifikasi katalis basa dan 50:1 untuk transesterifikasi katalis asam (Zhang et al., 2003). 

Laju reaksi transesterifikasi sangat dipengaruhi oleh suhu reaksi. Umumnya reaksi dilakukan pada suhu yang dekat dengan titik didih metanol (60-70oC) pada tekanan atmosfer. Dengan menaikkan lagi dari suhu tersebut, maka akan lebih banyak lagi metanol yang hilang atau menguap (Ramadhas et al., 2005).

REAKSI ESTERIFIKASI PADA PEMBUATAN BIODIESEL


Esterifikasi adalah tahap konversi dari asam lemak bebas menjadi ester. Esterifikasi mereaksikan asam lemak dengan alkohol. Katalis-katalis yang cocok adalah zat berkarakter asam kuat, seperti asam sulfat, asam sulfonat, asam sulfonat organik atau resin penukar kation asam kuat. Asam-asam tersebut biasa dipilih dalam praktek industrial (Soerawidjaja, 2006).
 
Proses esterifikasi adalah reaksi reversibel dimana asam lemak bebas (free fatty acid/FFA) dikonversi menjadi alkil ester melalui katalis asam (HCl atau umumnya H2SO4). Ketika konsentrasi asam lemak bebas dalam minyak tinggi, seperti dalam CPO parit, esterifikasi simultan dan reaksi transesterifikasi melalui katalis asam dapat berpotensi untuk mendapatkan konversi biodiesel yang hampir sempurna. Proses esterifikasi mengikuti mekanisme reaksi yang sama seperti transesetrifikasi katalis asam (Lotero et al., 2005). Brown (2000) dan Ronnback et al.(1997) mengilustrasikan mekanisme esterifikasi asam karboksilat rantai pendek seperti asam asetat dalam medium homogen dimulai dengan protonasi gugus karbonil.
 
Esterifikasi umumnya dilakukan untuk membuat biodiesel dari minyak berkadar FFA tinggi (berangka asam ³ 5 mg-KOH/g). Pada tahap ini, asam lemak bebas akan dikonversikan menjadi metil ester. Tahap esterifikasi biasanya diikuti dengan tahap transesterifikasi, tetapi sebelum produk esterifikasi diumpankan ke tahap transesterifikasi, air dan bagian terbesar katalis asam yang dikandungnya harus disingkirkan terlebih dahulu (Soerawidjaja, 2006).