Foto with my mom |
Rabu, 29 Januari 2014, setelah beberapa lama tidak kekampus, hari itu aku mengazamkan diri untuk menyelesaikan part terakhir dalam penelitian S2 ku. Hari yang cerah, secerah perasaan bertemu dengan teman-teman lab KF yang selalu penuh cerita, mulai dari drama korea, kunjungan siswa SMA ke lab, cerita betapa mahalnya biaya bahan-bahan dan analisis, rebutan molen yang dibeli di depan SD Percontohan 2, judul penelitian yang diganti, penantian akan beasiswa yg belum cair-cair juga.
Ada yang menarik hari itu, saat membuka FB aku melihat ada sebuah pesan. Ternyata dari Bu Lisa (Istri Alm Prof IGS-pembimbing S1 ku). Pesan yang mencirikan bahwa ia adalah sosok yang baik hati dan bahasanya adalah bahasa seorang yang terpelajar, sangat santun namun amat menyentuh. Tapi aku merasa tak layak untuk mencantumkan percakapan kami disini, karena aku belum meminta izin beliau. Kurang lebih isi percakapan tersebut mengenai tawaran Bu Lisa untuk memberikan buku-buku prof IGS beserta jurnal-jurnal yang belum sempat terpublikasikan. Ia menceritakan mengenai perkembangan putra-putrinya. Betapa ia bangga, sebab putrinya sedang berjuang dalam olimpiade sains tingkat SMP (beberapa hari kemudian muncul kabar bahwa putrinya juara), sangat mirip papa-nya yang seorang guru besar bidang kimia. Namun, Bu Lisa dan kedua putra-putrinya berencana untuk pindah ke Jakarta, dan ia berencana untuk memberika peninggalan Prof IGS kepadaku karena putra-putrinya tak berminat untuk ambil jurusan kimia. Masya Allah, betapa hari itu aku sumringah saat membaca pesan-pesan balasan Bu Lisa. Aku senang, sekaligus terharu.
Dengan perasaan yang masih membuncah karena membaca pesan dari Bu Lisa, selang beberapa jam aku bertemu Pak Seno, dosen Undip (kalo gak salah beliau pernah jadi PD 3) yang sedang lanjut S3 di UGM. Jujur, kalo ketemu pak Seno aku deg-degan. Karena aku (dan Erna- mahasiswi S1 tim penelitianku) pernah diomelin sama si bapak, aku menyebutnya sebagai tragedi hotplate stirrer, yang terjadi karena adanya miskomunikasi. Hari itu aku ngobrol banyak dengan beliau, tentang penelitian, cari kerja di Lampung, tentang menjadi seorang dosen. Beliau berkata bahwa pekerjaan yang paling cocok dan mulia bagi seorang wanita adalah mengajar. Karena ia tetap dapat meluangkan waktunya untuk keluarga, utamanya anak. Beliau juga berpesan untuk segera melanjutkan S3 pasca menyelesaikan S2, karena semakin lama semangat akan semakin menurun. Aku bertanya padanya tentang hal yang membuatku penasaran "Sebaiknya aku lanjut S3 di UGM atau ITB?" Beliau lekas menyarankan untuk keluar negeri, sekolah di dalam negeri umpama seperti menatap dunia dengan mengintip, sedangkan kalau keluar negeri pandangan terbuka lebar. Beliau menambahkan, jika sudah S3 maka jalan kedepan akan mulus. Bersusah sekalian setelah itu tinggal berkarya. S3 memang tidak mudah, jika melihat contoh di film Ainun & Habibie, beliau merasa terharu saat adegan dimana sepatu Habibie robek di malam hari saat pulang kerja. Pak Seno juga mencontohkan dirinya, ia tak mau menyesal dalam hidup, namun dapat dikatakan bahwa S3 beliau saat ini agak terlambat, disebabkan banyak faktor, ia baru bisa S3 sekarang.
Terakhir, yang membuat hariku lebih mengharukan karena saldo ATM sudah bertambah. Beasiswa yang tak kunjung cair, cukup mengkhawatirkan. Alhamdulillah, mama mengirimkan uang, terbayang olehku bagaimana sulitnya beliau mengumpulkan uang-uang tersebut lalu dikirimkan begitu saja padaku. Semakin menambah motivasiku utnuk berjuang disini. Ya, kita memang tak pernah tahu kemana masa depan membawa kita. Namun, akankah kita berpangku tangan menunggu masa depan? Kita harus merancangnya. Seperti sebuah ungkapan, "Kita diberikan sebuah pensil untuk menulis semua rencana-rencana kecil kita, dan biarlah Allah SWT yang memegang penghapusnya".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar