Kelas B (Ultah nya Aqilla) |
Pengalaman pertama mengajar kelas yang berisi anak-anak usia
1-3 tahun. It’s a miracle. Murid-murid ku Aro, Luna, Zahra, Odi, Quin, Aqilla,
Aziz, Ayyira, Zaki, Opick, dan si pendatang baru vieri mengubah suasana dalam
bekerja. Bukan dengan jadwal yang padat, pertemuan dengan mereka hanya 2
termin, Selasa-Jum’at dan Rabu-Sabtu di tiap jam 09.00-11.00 namun cukup
membuat suasana kerja menjadi lebih semangat dan ceria.
Seorang yang bernama Diona Ericha Octavia yang mengaku lahir
tahun ’86 (tertera di KTP) padahal di akta ’84 #garuk-garuk kepala, sosok
inspiratif pencetus ide didirikannya Eaglet Class maka kami (para pengajar.red)
menjulukinya ibu kepala sekolah yang sampai saat ini masih berkutat dengan
kurikulum dan pengembangan Eaglet Class ke depan. Tak sembarangan pula orang
yang memberikan nama Eaglet Class yaitu Nina Ginasari, konsultan Yayasan
Fatimah Az Zahra Lampung dengan ide cemerlang nya mengambil filosofi daur hidup
si burung elang (eaglet-branchers-fledling-...agak lupa). Baru seumur jagung,
wajar sistem prematur ini masih perlu di benahi sana-sini nya. Namun, aku yakin
sekali Eaglet Class akan besar dan terbang tinggi. Aamiin.
Takkan mulus perjalanan Eaglet Class tanpa adanya usaha
gigih dari Widhiyanti Rahayu Ningsih. Saat aku hadir, kelas hampir telah siap
dibereskan oleh tangannya sendiri. Beliau ini memang yang paling istiqomah deh
untuk urusan kantor. Datangnya pagiii banget (jadi malu..). Sifatnya yang
sensitif pun membuat ia cepat dekat dengan anak-anak, plus pribadi jowo-nya membuat
semakin perfect kebaikan hati dan perilakunya. Empat jempol untuk widhi.
Jam terbang yang tinggi di
organisasi kampus, pengerjaan penelitian ilmiah di beberapa lab ternama, dan
pengalaman mengajar kelas-kelas tinggi tidak begitu banyak membantu ku dalam
menangani anak-anak Eaglet Class. Istilah yang dibuat oleh Bu Kepala Sekolah
diawal pertemuan kami dengan anak-anak adalah “Bicara dengan Tembok” yups,
minggu pertama seperti bicara dengan tembok, tak ada perhatian, tatap mata ke
arah guru seolah mengerti, pertanyaan terkait yang diajarkan, maupun ucapan
izin ingin ke belakang atau sekedar beli makanan di kantin depan. Nyaris
seperti bicara dengan orang yang menggunakan headset+mp3 bervolume maximum.
Alhasil, tenggorokan sakit, keringat sebesar-besar biji jagung adalah efek
samping setelah mengajar Eaglet Class.
Adaptasi, itulah kunci dari
kedekatan kami dengan anak-anak. Rupanya, mereka butuh waktu, jelas sekali
anak-anak tersebut belum paham makna “pentingnya sekolah”, jadi sedih bila ada
orang tua yang menanamkan nilai-nilai target yang tinggi terhadap anak-anak
usia tersebut bahkan sebelum mereka mampu menghitung 1-10 dengan baik.
Alhamdulillah, ada banyak kemajuan di minggu-minggu selanjutnya, meskipun tiap
anak memiliki tingkat adaptasi yang berbeda.