Sabtu, 05 Januari 2013

SUPERKONDUKTOR

Sifat superkonduktor ditemukan pada tahun 1911 oleh seorang fisikawan Belanda yang bernama H.K.Onnes, yaitu ketika ia menemukan bahwa air raksa murni yang didinginkan dengan menggunakan gas helium pada suhu 4,2K kehilangan seluruh resistansi listriknya. Maka, pada saat itu, peluang untuk mengembangkan alat-alat listrik yang ekonomis terbuka lebar-lebar. Dengan resistansi yang bernilai nol, maka superkonduktor dapat menghantarkan arus listrik tanpa kehilangan daya sedikitpun. Suhu pada saat terjadinya perubahan sifat bahan menjadi suatu superkonduktor disebut sebagai suhu kritis (Tc).

Pada tahun 1933, Meissner dan Ochsenfeld melakukan pengujian terhadap sifat magnet superkonduktor. Dari percobaan tersebut, diperoleh kesimpulan bahwa superkonduktor memiliki sifat menyerupai bahan diamagnetik sempurna, yaitu menolak medan magnet, sehingga bahan superkonduktor dapat melayang diatas sebuah magnet tetap. Diketahui pula bahwa nilai magnetic susceptibilty dari superkonduktor (X) adalah -1.

Beberapa aplikasi superkonduktor, antara lain yaitu dibuatnya kereta api super cepat di Jepang dengan nama The Yamanashi MLX01 MagLev Train di bidang transportasi, kemudian di bidang listrik, dengan menggunakan pendingin gas nitrogen, dibuat Distributed Superconducting Magnetic Energy Storage (D-SMES) yang mampu menyimpan energi hingga 3 juta watt. Perdagangan superkonduktor di dunia pada tahun 2010 mencapai $90 triliyun dan pada tahun 2020 diprediksi mencapai $200 triliyun.

The Yamanashi MLX01 MagLev Train
Distributed Superconducting Magnetic Energy Storage (D-SMES)

Kendala terbesar dalam pemanfaatan superkonduktor sampai saat ini adalah bahwa sistem pendingin yang diperlukan memerlukan biaya yang cukup besar, sehingga aplikasinya menjadi terbatas. Oleh karenanya, pencarian bahan superkonduktor dengan Tc tinggi terus diupayakan.

Follower