Selasa, 25 Desember 2012

Life is like a boat- Rie Fu


Nobody knows who I really am
I never felt this empty before
And if I ever need someone to come along
Who's gonna comfort me and keep me strong

We are all rowing the boat of fate
The waves keep on comin' and we can't escape
But if we ever get lost on our way
The waves would guide you through another day

Tookude iki wo shiteru toumei ni nattamitai
Kurayami ni omoe takedo mekaku shisarete tadake
Inori wo sasagete atarashii hi wo matsu
Azayaka ni hikaru umi sono hate made

Nobody knows who I really am
Maybe they just don't give a damn
But if I ever need someone to come along
I know you would follow me, and keep me strong

Hito no kokoro wa utsuri yuku nukedashita kunaru
Tsuki wa mata atarashii shuuki de fune wo tsureteku

And every time I see your face,
The oceans heave up to my heart
You make me wanna strain at the oars,
And soon I can see the shore

Oh, I can see the shore
When will I... see the shore?

I want you to know who I really am
I never thought I'd feel this way towards you
And if you ever need someone to come along
I will follow you, and keep you strong

Tabi wa mada tsudzuiteku odayakana hi mo
Tsuki wa mata atarashii shuuki de fune wo terashidasu
Inori wo sasagete atarashii hi wo matsu
Azayaka ni hikaru umi sono hate made

And every time I see your face,
The oceans heave up to my heart
You make me wanna strain at the oars,
And soon I can see the shore

Unmei no fune wo kogi
Nami wa tsugi kara tsugi e to
Watashitachi wo osou kedo
Sore mo suteki na tabi ne
Dore mo suteki na tabi ne

Life is like a boat merupakan OST dari Bleach (japanese manga series), yang dibawakan dengan beberapa versi oleh beberapa penyanyi, namun yang paling bagus dinyanyikan oleh penyanyi aslinya Rie Fu. Arti lagu ini:

Tak ada yang tahu siapa aku sebenarnya
Aku tidak pernah merasakan sehampa ini sebelumnya
Dan jika aku membutuhkan seseorang untuk menemaniku,
Siapa yang akan membuatku nyaman, dan menjagaku tetap kuat?

Kita semua mendayung perahu nasib
Ombak terus datang dan kita tak dapat lari
Tapi jika kita tersesat
Ombak itu akan memandumu melewati hari yang lain

Jauh, Aku bernafas, seakan-akan aku tak terlihat
sepertinya aku dalam kegelapan, tapi sebenarnya hanya mataku saja yang ditutup
Aku berdoa sembari menanti hari yang baru
Bersinar terang hingga ke pinggir laut

Tak ada yang tahu siapa aku sebenarnya
Mungkin mereka sama sekali tak peduli
Tapi jika aku membutuhkan seseorang untuk menemaniku
Aku tahu kau akan mengikutiku, dan menjagaku tetap kuat

Hati orang berubah dan mencoba berlepas diri
Bulan dalam perputarannya memandu perahu ini lagi
Dan tiap kali aku memandang wajahmu
Laut yang bergelombang mengangkat hatiku

Kau membuatku ingin mempertahankan dayung ini, dan segera
Aku dapat melihat ombak itu
Oh, Aku dapat melihat ombak itu
Kapankah aku melihat ombak itu?

Aku ingin kau tahu siapa aku sebenarnya
Aku tak pernah mengira aku merasakan hal ini padamu
Dan jika kau membutuhkan seseorang untuk menemanimu,
Aku akan mengikutimu, dan menjagamu tetap kuat

Dan perjalanan tetap berlanjut dalam hari-hari yang sepi
Bulan dalam perputarannya yang baru di atas perahu ini
Aku berdoa sembari menanti hari yang baru
Bersinar terang hingga ke pinggir laut

Dan tiap kali aku memandang wajahmu
Laut yang bergelombang mengangkat hatiku
Kau membuatku ingin mempertahankan dayung ini, dan segera
Aku dapat melihat ombak itu

Kita mendayung perahu takdir. Namun, gelombang terus menerjang kita
Tapi, ini tetaplah perjalanan yang mengesankan, kan? Bukankah semuanya perjalanan yang mengesankan?

Sumber: http://penxpower.wordpress.com

Pengalaman Naik Kereta Jalur Stasiun Tugu Yogyakarta-Stasiun Prujakan Cirebon

Untuk pertama kalinya dalam hidup ini saya mendapatkan pengalaman baru, yaitu naik kereta. Bagi kebanyakan orang mungkin hal ini sudah biasa, namun tidak bagi saya. Ada kisah di tiap pengalaman, begitupun dengan proses naik kereta ini.



Tidak sendirian, saya berangkat bersama empat orang teman yang lain. Semua sudah sesuai rencana, keberangkatan kereta tertulis di tiket pukul 19.26, kami telah berkumpul di satu tempat (kosan teman waktu itu) sekitar pukul 17.30, merasa AMAN karena jarak dari tempat kos ke Stasiun Tugu Yogyakarta (yang juga dikenal dengan nama Stasiun Lempuyangan) tidak begitu jauh, butuh sekitar 15 menit. Namun, kericuhan mulai terjadi manakala rencana menuju ke stasiun naik taksi terganggu dengan statement para front office dari tempat memesan taksi tersebut menyatakan “maaf mbak, sementara taksi yang masih kosong (belum ada/sudah terpakai pengguna lain)”, coba-coba ke Merk taksi lain, saat itu sekitar enam merk sudah dihubungi, hanya jawaban yang sama yang kami peroleh.

Lengkap sudah kegelisahan sore menjelang malam tersebut, hujan deras turun mengguyur Yogyakarta. Beberapa ide sempat muncul, mulai dari call teman minta antar, call ojek, namun buntu, tidak ada bantuan dari arah sana. Nekat, akhirnya kami melaju menembus hujan, alhamdulillah, tidak lama berjalan, melihat taksi kosong, tanpa tedeng aling-aling kami langsung melambaikan tangan. Pak supir, dengan wajahnya yang welcome menyambut kami.

Kegelisahan masih menyelimuti suasana taksi, karena waktu sudah begitu mepet. Sampai disana, masih dengan suasana Yogyakarta yang ramah, kami disambut dan dilayani dengan baik oleh petugas stasiun. Agak lega mendengar bahwa keberangkatan kereta ditunda sampai pukul 20.15. Wah, baru tau kalau di kereta ada delay juga. Tak buang kesempatan, camera langsung standby.

Di tiket kereta tertera Eko-5/11A, artinya kelas ekonomi (tapi AC lho), gerbong 5, dengan nomor kursi 11A. Ini juga baru saya ketahui. O,iya harga tiketnya 170 ribu, lumayan mahal, namun cukup membayar rasa penasaran.

Perjalanan selama 8 jam, kurang begitu bisa saya nikmati, karena pada waktu itu malam, kondisi kaca jendela yang gelap, walau duduk didekat jendela saya tidak dapat melihat pemandangan luar. Dan ternyata, suhu didalam kereta sangat dingin, alhasil saya langsung masuk angin, perut tidak nyaman. Pun, rasa pegal karena posisi duduk yang susah diubah, mematung selama 8 jam, membuat saya beberapa kali memilih berdiri sejenak di pinggir kursi dengan wajah memelas.

Oleh sebab itu, penting saat berpergian minum obat masuk angin sebelumnya, bawa cemilan yang cukup, bawa alqur’an dan buku bacaan (novel, majalah, dll) atau tablet biar bisa sambil denger murrotal atau nasyid, jaket, minyak kayu putih atau aroma terapi. Ada satu benda lagi yang baik untuk dibawa yaitu bantal yang bisa dipakai (seperti kalung) dileher, saya lihat digunakan penumpang yang duduk di seberang saya. Saya lihat, ia sangat nyaman tidur menggunakan bantal yang menopang kepalanya tersebut, agak mencolok sih, karena ia menggunakan bantal yang berbentuk spongebob dengan warna kuning yang menyala.

Seperti biasa, pedagang pun banyak yang masuk kedalam kereta, mulai dari menjajakan makanan kecil, minuman ringan, sampai nasi bungkus, kacang goreng, dan koran bekas. Untuk apa koran bekas? Ternyata dagangan satu ini cukup diminati, yaitu sebagai alas untuk tidur dibagian lantai kereta, biar gak pegal jadi bisa selonjoran.

Sekitar pukul 4 dini hari kami sampai di Stasiun Prujakan Cirebon. Wah, ternyata  Stasiun ini lebih luas dari Stasiun Tugu Yogyakarta. Kondisi stasiun cukup sepi, namun suasananya yang terang benderang dan diawasi oleh beberapa petugas kemanan stasiun membuat kami merasa aman menunggu jemputan.



Ada kesalahan nama, harusnya IDRA HERLINA

Pakaian Nikah, antara Kenyamanan dan Ke-syar'i-an

Pernikahan  teman

Saat menghadiri prosesi pernikahan seorang teman mulai dari akad nikah hingga resepsi, ada yang membuat saya begitu tertarik, yaitu pakaian yang dikenakan oleh mempelai wanita. Teman saya tersebut, saya kenal sekali, adalah seorang “akhwat” yang sehari-harinya menggunakan kerudung yang lebar beserta baju lengan panjang/rok panjang/gamis yang longgar, tentunya tak lupa kaos kaki dan kadang manset yang melekat dilengan untuk menutupi bagian yang terkadang suka menyelinap tertangkap mata.

Ketertarikan saya mulai muncul saat si mempelai wanita keluar dari kamar tempat ia di rias. Walau dengan wajah cerah merona, karena hari itu adalah hari bahagia yang telah lama dinanti, namun tak bisa ditutupi ada raut “risih” pada baju yang ia kenakan. Seringkali, saya menangkap ia bertanya pada orang-orang disekitarnya “kebayanya ketat banget ga sih?” atau pertanyaan “ih, roknya (ia menggunakan batik, red) sempit banget sampai mau berdiri (dari duduk, red) aja susah”. Yap, itulah yang terjadi saat teman saya itu, menggunakan kebaya dan batik yang begitu ketat, yang saya ketahui diperoleh dari sewa di salon.

Sebenarnya pakaian yang ia gunakan sudah cukup sopan, masalah syar’i atau tidaknya saya rasa butuh penjabaran yang cukup panjang. Namun, nampak sekali bahwa ia kurang nyaman dengan pakaian tersebut, meskipun ia berusaha menutupinya. Pernikahan adalah proses sakral yang diharapkan hanya terjadi sekali seumur hidup, sehingga sebaiknya dapat dilalui dengan rasa yang membahagiakan termasuk didalamnya kenyamanan. Ada baiknya pakaian yang digunakan adalah pakaian yang sesuai dengan ukuran dan “rasa nyaman” kita, cara jitu adalah dengan datang ke  tukang jahit, namun bila budget belum pas, tidak ada masalah dengan sewa di salon, maka persiapkan dari jauh-jauh hari, karena jika di satu tempat pakaian tersebut kita tahu membuat tidak nyaman, masih ada waktu untuk mencari di tempat yang lain.

Alhamdulillah, proses tidak nyaman tersebut hanya berlangsung sampai jam 12 siang. Setelahnya mempelai wanita ganti pakaian yang membuat senyumnya lebih sumringah dan gerakannya lebih licah, sebuah gamis yang terbuat dari kain satin dan brukat berwarna ungu. Cantik sekali, aura nyamannya sangat nampak.

Berikut beberapa contoh pakaian menikah yang mungkin “nyaman” digunakan.












Paling suka dengan model yang pertama. Manis, simple, nampun tetap elegant. Saya suka perpaduan warnanya. Untuk bahan hanya menggunakan kain satin, kecuali bagian atas kerudung yang terbuat dari kain kaca.

Follower